Jumat, 06 September 2013

Serpihan Masa Lalu

Suasana kelas IX – H, di salah satu SMP Negeri di kota Tasikmalaya, Selasa pagi itu tidak seperti biasanya. Para peserta didik di kelas tersebut memang terkenal dengan keantusiasannya yang tinggi pada tiap mata pelajaran. Sampai terbukti ada pemandangan yang kurang mengenakkan dari salah satu peserta didik di kelas itu, Vina. Adam Fadil, Guru pada mata pelajaran bahasa Inggris yang sejak tadi mencoba menyampaikan materi tentang descriptive text melayangkan pandang penuh atensi kepada Vina yang tidak memberikan kadar semangat terhadap mata pelajaranya. Menyadari hal ini, sontak Adam mengambil inisiatif menegur muridnya.
“Anak-anak, Bapak benar-benar tidak bisa meneruskan pelajaran jika suasanaya masih seperti ini. Masih ada diantara teman kalian yang tidak bisa memberikan perhatian dan semangat belajar, padahal ini masih pagi.” tegur Adam dengan lembut.
“Maaf, Pak! Tapi, saya benar-benar bodoh atau bahkan terlalu bodoh untuk mata pelajaran bahasa Inggris ini.” ucap Vina ketika sadar akan teguran yang mengarah padanya.
“Vin, semuanya berawal dari ketidaktahuan. Semua berasal dari kebodohan. Orang bodoh jika belajar akan terbukti pandai.” jawab Adam menyemangati.
“Tapi, … Aku benar-benar gak bisa sama sekali, Pak! Pelajaran ini susah banget!” gerutu Vina seraya menghela nafas lalu membenamkan wajahnya di antara lipatan buku paket.
“Baiklah, anak-anak. Bapak akan bercerita sebentar tentang kisah seorang pelajar. Apakah kalian keberatan?” tanya Adam kepada para peserta didiknya.
Mendengar pertanyaan sang Guru, para peserta didik sontak merubah ekspresi wajah mereka menjadi riang gembira, bersorak karena pelajaran yang sedang disampaikan akan tertunda.
“Asyik, ayo Pak kami sudah tak sabar ingin mendengarnya!” ucap Deni, murid yang terkenal paling bawel dan kritis di kelas itu.
“Baiklah” adam menjawab singkat dan datar. “Dahulu, ada seorang murid kelas satu SMP yang pemahamannya masih nol dalam pelajaran bahasa Inggris. Nilai rapornya pun sampai merah” Adam mengawali cerita kisahnya.
“Bisa dibilang siswa tersebut adalah siswa terbodoh di kelas itu dalam mata pelajaran bahasa Inggris.” lanjutnya.
“Pada suatu waktu, di kelas tersebut sedang diadakan test dikte. Sesi pada saat itu adalah menyebutkan jawaban masing-masing secara bergiliran dari satu bangku ke bangku yang lain, terus sampai bangku yang urutannya paling akhir. Siswa bodoh itu terlihat gemetar mengetahui gilirannya membacakan jawaban dikte akan segera tiba. Dengan segenap kekuatan dia kumpulkan keberaniannya untuk membacakan jawaban tersebut.”
“No. 7, jawabannya ‘cat’”, murid bodoh itu melafalkan jawabannya sama dengan apa yang ia tulis ‘cat’. “Sedangkan kita tahu bahwa pelafalan kata ‘cat’ adalah ‘kaet’.” tegas Adam.
“Gelagak tawa pun segera meramaikan kelas 1 – G pada saat itu. Semua teman sekelas menertawakan murid bodoh itu. ‘Dasar si bodoh’, ejek seorang temannya. Yang lebih parah lagi, alih-alih sang Guru memberikan dukungan dan motivasi kepada murid bodoh itu, beliau pun terlihat malah ikut menertawakannya hingga terpingkal-pingkal puas. Murid bodoh itu pun merasa tertekan, stres, malu dan ingin segera menangis. Si bodoh itu berusaha sekuat tenaga untuk membentengi rasa malunya, namun itu sudah tidak ada gunanya. Rasa malunya tak bisa tertahankan lagi—Semenjak kejadian itu, ia memutuskan untuk belajar lebih giat dan rajin lagi. Singkat cerita, ia sudah duduk di kelas 3 SMP. Ia selalu ingin menunjukkan hasil belajar keras dan sungguh-sungguhnya di kelas, dalam pelajaran bahasa Inggris.Tapi, itu tidaklah mudah seperti apa yang ia bayangkan sebelumnya”.
Adam berhenti sejenak, memperhatikan dengan seksama para peserta didiknya yang terlihat asyik menyimak dan mungkin sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing terkait kisah yang ia ceritakan. Kemudian ia berjalan ke arah meja kerjanya dan meneguk segelas air putih.
“Baiklah, Bapak akan lanjutkan.” gumam Adam.
“Dalam penilaian Guru kelas serta teman-temannya ia tetap dianggap murid ‘terbodoh’ di kelas.’ Dia merasa tersakiti. Rasa penasaran yang kian terus menantangnya kini telah sampai pada klimaksnya. Merasa terus dipermalukan selama kurang lebih dua tahun dalam pelajaran Bahasa Inggris, ia bertekad ingin membenci pelajaran itu. Namun niatnya ia urungkan pada saat bersekolah di tingkat SMK. Di sekolah barunya, ia malah belajar lebih rajin dan giat lagi, bahkan ia masuk ekstrakurikuler bahasa Inggris. Pembuktiannya, ia berhasil mendapat kepercayaan untuk mewakili Sekolah tempat ia menuntut ilmu, pada ajang LKS tingkat Kota. LKS merupakan singaktan dari Lomba Kompetensi Siswa, dan sudah menjadi budaya perlombaan di tingkat SMK. Setelah melalui serangkaian proses seleksi di tingkat Kota, akhirnya ia lolos mewakili Kota Tasikmalaya ke tingkat Provinsi di bidang debat bahasa Inggris. Ia berhasil catatkan sejarah prestasi baru untuk Kota Tasikmalaya di tingkat Provinsi, walau belum bisa menjadi juara pertama pada lomba yang dihadiri 24 kota tersebut. Setidaknya ia berhasil menaikkan peringkat kota Tasikmalaya sebanyak tujuh peringkat dari peringkat ke-18 tahun lalu-yang digawangi seniornya, Yasser Mudzakir menjadi peringkat ke-11 di tingkat Provinsi Jawa Barat tahun itu. Atas hasilnya, ia merasa sangat senang namun juga masih dirudung kekecewaan yang mendalam karena belum bisa memberikan yang terbaik untuk kota tercintanya, Tasikmalaya terlebih bagi sekolahnya. Maka ia memutuskan untuk mendedikasikan hidupnya di bidang bahasa dan sastra Inggris. Singkat cerita setelah lulus, murid bodoh itu juga memutuskan untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi dengan mengambil jurusan pendidikan bahasa Inggris.”
Suasana kelas itu mendadak hening, tidak ada satu peserta didik pun yang bergumam. Karena memang melakukan hal konyol pada saat menyimak sebuah cerita adalah hal yang memalukkan. Kemudian Adam melanjutkan kembali ceritanya,
“Nah, anak-anak… Bisakah kalian menebak, dimana si murid bodoh itu berada? Bagaimanakah nasibnya sekarang? Jadi apakah dia sekarang? Anak bodoh yang diperolok teman-teman sekelas bahkan Gurunya sewaktu duduk di bangku SMP. Kalian tahu dimanakah dia berada sekarang?” tanya Adam dengan tenang.
“Enggak tahu, Pak!” salah seorang peserta didik menjawab dan bisa ditebak ia adalah Deni. Sedangkan teman-temanya yang lain hanya menggelengkan kepalanya pertanda mereka masih bingung. Adam melihat ambigu yang nampak jelas dalam benak para peserta didiknya.
“Anak-anak, perlu kalian ketahui. Sejujurnya, anak bodoh dalam cerita itu sekarang berada di depan kalian semua. Mengajar kalian pelajaran bahasa Inggris. Sedang menatap kalian dan si bodoh itu menyayangi kalian semua.” jawab Adam seraya air mata membasahi pipinya.
“Bapak…” sahut Deni yang seketika terlihat memasang wajah haru dan terkejut.
Vina yang sejak tadi membenamkan wajahnya di antara lipatan buku paket kini mengangkat wajahnya, beranjak dan berlari serta memeluk erat Gurunya itu.
“Bapak…! Sungguh, Pak! Vina akan berusaha belajar lebih giat lagi. Kisah bapak merupakan motivasi untuk Vina.”
Vina terkejut dan terisak… tanpa sadar, air matanya membasahi seragam safari sang Guru. Peserta didik lainnya terlihat menunduk lesu dan ada diantara mereka yang saling bertukar pandangan datar dan serius merasa bahwa mereka hampir tidak percaya tentang apa yang baru saja mereka dengar.
“Kalian harus menyadari sepenuh hati kalian. Jika kalian bisa dan yakin, apa yang menjadi kelemahan kalian niscaya akan dijadikan kekuatan bagi kalian. Tuhan sungguh Maha Hebat. Kalian harus berusaha terus belajar dan belajar. Semangat! Karena kehidupan itu memiliki ‘titik balik’.” tegas Adam dengan gejolak semangatnya.
Keharuan di kelas itu kini menjadi sorak dan antusiasi yang mengundang ambigu dari kelas-kelas tetangga. Apa yang dilakukan Adam untuk menyemangati peserta didiknya telah sukses membangunkan gairah belajar di kelas itu. Kelemahan yang ia jadikan kekuatan bukanlah hal yang mudah didapat. Kerja keras, sikap rajin, tekun dan ulet diperlukan untuk mewujudkannya.
Karena hakikat seorang Guru selain memfasilitasi peserta didik dalam menyerap Ilmu adalah untuk memberikan semangat motivasi. Adam hanya tidak ingin apa yang telah ia rasakan 8 tahun lalu; kekecewaan, rasa malu, sedih dan sakit hati, dirasakan kembali oleh peserta didiknya. Cukuplah, hanya Adam yang merasakan kepahitan itu.
Dan hal yang tidak perlu dilakukan seorang Guru ketika mendapati salah satu atau bahkan beberapa orang diantara peserta didiknya belum memahami dan menguasai pelajaran adalah ‘ikut menertawakan kesalahan, menyikapinya dengan kesal sampai bahkan menggunakan kekerasan’. Kesuksesan atau kegagalan yang didapat oleh peserta didik adalah cerminan dari bagaimana sikap seorang Guru dalam menyikapi masalah ‘ketidaktahuan’ menjadi ‘pengetahuan’.

-VL-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar