Sabtu, 07 September 2013

Delapan Puluh

Hari kamis, pertengahan Januari tahun 2012, derap langkah Aldi terdengar nyaring. Ia pun terlihat lebih bersemangat dari biasanya. Aldi berperawakan sedang, kulitnya kuning langsat, parasnya ganteng dan rambutnya dicukur cepak. Lebih terlihat seperti seorang anggota militer dari pada seorang karyawan Tata Usaha di sebuah Sekolah Menengah Pertama Negeri di kota Bandung.

"Wajah baru nih, di?" Pak Sutan menegurnya,"Pantesan saja, hari ini hujan nggak turun-turun, ternyata oh ternyata ada yang potong rambut." lanjut Sutan.
"Ah, Pak Sutan ini bisa aja." Aldi terkekeh malu.
"Betul itu!"
"Saya cuma merasa kurang nyaman aja sebagai pegawai intansi kalau rambut masih saya biarkan lebih dari tujuh senti meter."Aldi berusaha membela.
"Ha-ha...! Betul itu! Memng seharusnya seperti itu kalau pegawai!" Kini senyuman yang disunggingkan Pak Sutan lebih ramah, dibanding senyuman ejekan licik yang pertama.

Aldi menyimpan tas gendongnya di bawah meja, yang terbuat dari kayu mahoni tua. Semakin tua umurnya, nilai artistiknya terlihat lebih nampak. Aldi membuka notebook, kemudian memeriksa akun emailnya. Rutinitas yang setiap hari dilakukan sebelum memulai aktivitas lain di kantor. Sebelum Aldi selesai memeriksa akun emailnya, Pak Sutan setengah berbisik, "Di, kamu dicari Pak Kepsek. Katanya suruh menghadap sekitar pukul sembilan."

"Oh, makasih Pak. Tapi ada apa ya? Soalnya laporan-laporan kepegawaian per bulan Desember sudah diserahkan kemarin siang." 

"Saya kurang tahu kalau masalah itu, Di"

"Baiklah Pak, terima kasih banyak atas infonya." Aldi melanjutkan memeriksa akun emailnya. Pikirnya, sekarang kan baru pukul delapan kurang sepuluh menit, masih ada cukup waktu sampai pukul sembilan.

Aldi melanjutkan membaca email-email yang masuk. Tak ada yang menarik perhatiannya. Semua email yang masuk hanya berisi notifikasi dari jejaring sosial.

"Di, kemari sebentar!" suara panggilan itu tiba-tiba memecah konsentrasi Aldi dan spontan memalingkan pandangan ke arah dimana suara itu berasal. Dan ya, Aldi mengenali suara itu. Itu suara...
"Iya, baik Pak!"

"Dia sudah tidak sabar mungkin, Di" celetuk Pak Sutan sambil terkekeh geli.

Aldi pun berlalu meninggalkan ruang Tata Usaha dan berbelok ke koridor kanan yang langsung berhadapan dengan ruang Kepala Sekolah.

"Kemari, Di! Masuklah!"
Aldi agak merundukkan punggunggnya, demi memberikan salam hormat kepada atasannya itu.
"Apa ini berkaitan dengan laporan Desember yang kemarin sore Pak? Ada kekurangan?" Aldi mengawali pembicaran dengan sedikit tergesa-gesa.

"Oh, bukan! Sama sekali bukan!" Pak Sode menajawab datar. Pak Sode ini ... Ah sudahlah, deskripsinya akan terlalu panjang untuk Pak Sode, pikir Aldi.

"Lalu, adakah hal yang sepenting ini Pak?"
"Lumayan, penting!"
"Baiklah, Pak! Saya menyimak!"
"Begini, Di. Kamu kan sudah cukup lama bekerja di sini, sebagai... pegawai tidak tetap tentunya."
Aldi terlihat sedikit menegang, kemudian beberapa kali menelan ludahnya.
"Iya Pak, lalu...?"
"Saya ada tawaran bagus." "Ya, kita buka-bukaan saja, Di!" lanjutnya.
"Begini, Aldi tentu sudah harus memikirkan masa depan. Membeli rumah, salah satunya atau memiliki kendaraan sendiri."
"Lalu, bapak mau memberikan kredit untuk saya?" celetuknya.
"Ha-ha! Bukan, tentu saja bukan!" "Saya juga masih perlu memberi makan anak-istri, kenapa harus memberi kredit kepada orang lain." sunggingan senyum licik menghias bibir Pak Sode.
Ambigu dalam benak Aldi semakin menjadi, ketika Pak Sode dengan perlahan menepuk pundak Aldi.
"Delapan puluh saja!" ucap Pak Sode singkat.

Aldi memeras otaknya dan berusaha memikirkan apa maksud dari 'delapan puluh saja' itu.
"Siapkanlah kelengkapan administrasi seperti;  copy ijazah terakhirmu, ktp, kk dan sk pengangkatan tenaga honornya. Dalam satu minggu kamu akan mendapat amplop berisi SK penempatan tugas."
"Apa?" Aldi tersentak kaget!
"Ya, cukup delapan puluh!"
Aldi mencium bau busuk rencana Pak Sode. Tapi ia tak mau berperasangka buruk terlebih dahulu.
"Kalaupun tidak mampu sekarang, Saya berikan alternatif lainnya. Kumpulkan administrasinya, namun setelah menerima amplop sk penempatan tugas, cairkanlah 80 untuk saya. Mudahkan, Di?"

"...Pak?"
"Tidak perlu bertanya dulu darimana, Di. Saya punya cukup koneksi yang kuat di atas. Jangan khawatir."
Terjawab sudah ambigu besar Aldi sekarang. Si licik Sode memang busuk, pikirnya.

"Terima kasih, atas penawarannya Pak! Tapi, saya lebih baik mengundurkan diri terhormat dan memilih menulis saja daripada harus memberi nominal 80 untuk Bapak." ketus Aldi.
"Dasar anak muda, Idealis!"
"Saya permisi, Pak!" 
"Pikirkanlah, satu hari kemudian kamu akan berubah pikiran. Kau harus tau arti masa depanmu, anak muda."

Aldi menoleh, dan tersenyum lebar mendengar ucapan Pak Sode.
"Sepertinya, Bapak yang harus lebih memikirkan masa depan Bapak."
Sekonyong-konyong Aldi mengeluarkan ponselnya. Dan melanjutkan, "Semuanya telah on the record, Pak.".
Seketika itu juga, mimik Pak Sode berubah seratus delapan puluh derajat. Wajahnya pucat pasi. Pak Sode tidak menyangka, Aldi merekam semua percakapannya dalam ponsel. Pak Sode berdiri tak bergeming, sementara Aldi menutup pintu.Aldi keluar dari ruang Kepala Sekolah dengan hati gembira dan penuh kemenangan.

-VL-


Jumat, 06 September 2013

Serpihan Masa Lalu

Suasana kelas IX – H, di salah satu SMP Negeri di kota Tasikmalaya, Selasa pagi itu tidak seperti biasanya. Para peserta didik di kelas tersebut memang terkenal dengan keantusiasannya yang tinggi pada tiap mata pelajaran. Sampai terbukti ada pemandangan yang kurang mengenakkan dari salah satu peserta didik di kelas itu, Vina. Adam Fadil, Guru pada mata pelajaran bahasa Inggris yang sejak tadi mencoba menyampaikan materi tentang descriptive text melayangkan pandang penuh atensi kepada Vina yang tidak memberikan kadar semangat terhadap mata pelajaranya. Menyadari hal ini, sontak Adam mengambil inisiatif menegur muridnya.
“Anak-anak, Bapak benar-benar tidak bisa meneruskan pelajaran jika suasanaya masih seperti ini. Masih ada diantara teman kalian yang tidak bisa memberikan perhatian dan semangat belajar, padahal ini masih pagi.” tegur Adam dengan lembut.
“Maaf, Pak! Tapi, saya benar-benar bodoh atau bahkan terlalu bodoh untuk mata pelajaran bahasa Inggris ini.” ucap Vina ketika sadar akan teguran yang mengarah padanya.
“Vin, semuanya berawal dari ketidaktahuan. Semua berasal dari kebodohan. Orang bodoh jika belajar akan terbukti pandai.” jawab Adam menyemangati.
“Tapi, … Aku benar-benar gak bisa sama sekali, Pak! Pelajaran ini susah banget!” gerutu Vina seraya menghela nafas lalu membenamkan wajahnya di antara lipatan buku paket.
“Baiklah, anak-anak. Bapak akan bercerita sebentar tentang kisah seorang pelajar. Apakah kalian keberatan?” tanya Adam kepada para peserta didiknya.
Mendengar pertanyaan sang Guru, para peserta didik sontak merubah ekspresi wajah mereka menjadi riang gembira, bersorak karena pelajaran yang sedang disampaikan akan tertunda.
“Asyik, ayo Pak kami sudah tak sabar ingin mendengarnya!” ucap Deni, murid yang terkenal paling bawel dan kritis di kelas itu.
“Baiklah” adam menjawab singkat dan datar. “Dahulu, ada seorang murid kelas satu SMP yang pemahamannya masih nol dalam pelajaran bahasa Inggris. Nilai rapornya pun sampai merah” Adam mengawali cerita kisahnya.
“Bisa dibilang siswa tersebut adalah siswa terbodoh di kelas itu dalam mata pelajaran bahasa Inggris.” lanjutnya.
“Pada suatu waktu, di kelas tersebut sedang diadakan test dikte. Sesi pada saat itu adalah menyebutkan jawaban masing-masing secara bergiliran dari satu bangku ke bangku yang lain, terus sampai bangku yang urutannya paling akhir. Siswa bodoh itu terlihat gemetar mengetahui gilirannya membacakan jawaban dikte akan segera tiba. Dengan segenap kekuatan dia kumpulkan keberaniannya untuk membacakan jawaban tersebut.”
“No. 7, jawabannya ‘cat’”, murid bodoh itu melafalkan jawabannya sama dengan apa yang ia tulis ‘cat’. “Sedangkan kita tahu bahwa pelafalan kata ‘cat’ adalah ‘kaet’.” tegas Adam.
“Gelagak tawa pun segera meramaikan kelas 1 – G pada saat itu. Semua teman sekelas menertawakan murid bodoh itu. ‘Dasar si bodoh’, ejek seorang temannya. Yang lebih parah lagi, alih-alih sang Guru memberikan dukungan dan motivasi kepada murid bodoh itu, beliau pun terlihat malah ikut menertawakannya hingga terpingkal-pingkal puas. Murid bodoh itu pun merasa tertekan, stres, malu dan ingin segera menangis. Si bodoh itu berusaha sekuat tenaga untuk membentengi rasa malunya, namun itu sudah tidak ada gunanya. Rasa malunya tak bisa tertahankan lagi—Semenjak kejadian itu, ia memutuskan untuk belajar lebih giat dan rajin lagi. Singkat cerita, ia sudah duduk di kelas 3 SMP. Ia selalu ingin menunjukkan hasil belajar keras dan sungguh-sungguhnya di kelas, dalam pelajaran bahasa Inggris.Tapi, itu tidaklah mudah seperti apa yang ia bayangkan sebelumnya”.
Adam berhenti sejenak, memperhatikan dengan seksama para peserta didiknya yang terlihat asyik menyimak dan mungkin sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing terkait kisah yang ia ceritakan. Kemudian ia berjalan ke arah meja kerjanya dan meneguk segelas air putih.
“Baiklah, Bapak akan lanjutkan.” gumam Adam.
“Dalam penilaian Guru kelas serta teman-temannya ia tetap dianggap murid ‘terbodoh’ di kelas.’ Dia merasa tersakiti. Rasa penasaran yang kian terus menantangnya kini telah sampai pada klimaksnya. Merasa terus dipermalukan selama kurang lebih dua tahun dalam pelajaran Bahasa Inggris, ia bertekad ingin membenci pelajaran itu. Namun niatnya ia urungkan pada saat bersekolah di tingkat SMK. Di sekolah barunya, ia malah belajar lebih rajin dan giat lagi, bahkan ia masuk ekstrakurikuler bahasa Inggris. Pembuktiannya, ia berhasil mendapat kepercayaan untuk mewakili Sekolah tempat ia menuntut ilmu, pada ajang LKS tingkat Kota. LKS merupakan singaktan dari Lomba Kompetensi Siswa, dan sudah menjadi budaya perlombaan di tingkat SMK. Setelah melalui serangkaian proses seleksi di tingkat Kota, akhirnya ia lolos mewakili Kota Tasikmalaya ke tingkat Provinsi di bidang debat bahasa Inggris. Ia berhasil catatkan sejarah prestasi baru untuk Kota Tasikmalaya di tingkat Provinsi, walau belum bisa menjadi juara pertama pada lomba yang dihadiri 24 kota tersebut. Setidaknya ia berhasil menaikkan peringkat kota Tasikmalaya sebanyak tujuh peringkat dari peringkat ke-18 tahun lalu-yang digawangi seniornya, Yasser Mudzakir menjadi peringkat ke-11 di tingkat Provinsi Jawa Barat tahun itu. Atas hasilnya, ia merasa sangat senang namun juga masih dirudung kekecewaan yang mendalam karena belum bisa memberikan yang terbaik untuk kota tercintanya, Tasikmalaya terlebih bagi sekolahnya. Maka ia memutuskan untuk mendedikasikan hidupnya di bidang bahasa dan sastra Inggris. Singkat cerita setelah lulus, murid bodoh itu juga memutuskan untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi dengan mengambil jurusan pendidikan bahasa Inggris.”
Suasana kelas itu mendadak hening, tidak ada satu peserta didik pun yang bergumam. Karena memang melakukan hal konyol pada saat menyimak sebuah cerita adalah hal yang memalukkan. Kemudian Adam melanjutkan kembali ceritanya,
“Nah, anak-anak… Bisakah kalian menebak, dimana si murid bodoh itu berada? Bagaimanakah nasibnya sekarang? Jadi apakah dia sekarang? Anak bodoh yang diperolok teman-teman sekelas bahkan Gurunya sewaktu duduk di bangku SMP. Kalian tahu dimanakah dia berada sekarang?” tanya Adam dengan tenang.
“Enggak tahu, Pak!” salah seorang peserta didik menjawab dan bisa ditebak ia adalah Deni. Sedangkan teman-temanya yang lain hanya menggelengkan kepalanya pertanda mereka masih bingung. Adam melihat ambigu yang nampak jelas dalam benak para peserta didiknya.
“Anak-anak, perlu kalian ketahui. Sejujurnya, anak bodoh dalam cerita itu sekarang berada di depan kalian semua. Mengajar kalian pelajaran bahasa Inggris. Sedang menatap kalian dan si bodoh itu menyayangi kalian semua.” jawab Adam seraya air mata membasahi pipinya.
“Bapak…” sahut Deni yang seketika terlihat memasang wajah haru dan terkejut.
Vina yang sejak tadi membenamkan wajahnya di antara lipatan buku paket kini mengangkat wajahnya, beranjak dan berlari serta memeluk erat Gurunya itu.
“Bapak…! Sungguh, Pak! Vina akan berusaha belajar lebih giat lagi. Kisah bapak merupakan motivasi untuk Vina.”
Vina terkejut dan terisak… tanpa sadar, air matanya membasahi seragam safari sang Guru. Peserta didik lainnya terlihat menunduk lesu dan ada diantara mereka yang saling bertukar pandangan datar dan serius merasa bahwa mereka hampir tidak percaya tentang apa yang baru saja mereka dengar.
“Kalian harus menyadari sepenuh hati kalian. Jika kalian bisa dan yakin, apa yang menjadi kelemahan kalian niscaya akan dijadikan kekuatan bagi kalian. Tuhan sungguh Maha Hebat. Kalian harus berusaha terus belajar dan belajar. Semangat! Karena kehidupan itu memiliki ‘titik balik’.” tegas Adam dengan gejolak semangatnya.
Keharuan di kelas itu kini menjadi sorak dan antusiasi yang mengundang ambigu dari kelas-kelas tetangga. Apa yang dilakukan Adam untuk menyemangati peserta didiknya telah sukses membangunkan gairah belajar di kelas itu. Kelemahan yang ia jadikan kekuatan bukanlah hal yang mudah didapat. Kerja keras, sikap rajin, tekun dan ulet diperlukan untuk mewujudkannya.
Karena hakikat seorang Guru selain memfasilitasi peserta didik dalam menyerap Ilmu adalah untuk memberikan semangat motivasi. Adam hanya tidak ingin apa yang telah ia rasakan 8 tahun lalu; kekecewaan, rasa malu, sedih dan sakit hati, dirasakan kembali oleh peserta didiknya. Cukuplah, hanya Adam yang merasakan kepahitan itu.
Dan hal yang tidak perlu dilakukan seorang Guru ketika mendapati salah satu atau bahkan beberapa orang diantara peserta didiknya belum memahami dan menguasai pelajaran adalah ‘ikut menertawakan kesalahan, menyikapinya dengan kesal sampai bahkan menggunakan kekerasan’. Kesuksesan atau kegagalan yang didapat oleh peserta didik adalah cerminan dari bagaimana sikap seorang Guru dalam menyikapi masalah ‘ketidaktahuan’ menjadi ‘pengetahuan’.

-VL-

VL

As salamu'alaikum Wr. Wb.

Hai-hai...
Dear my reader,

Sejarah...? Seberapa pentingkah makna dari kata ini? Semua tergantung pada setiap sudut pandang. Sudut pandang VL sendiri, bisa dibilang bahwa, ya makna dari kata ini penting. Jangan pernah tanya apa alasannya, oke? Ha-ha... Nah, apakah sudut pandang reader sama dengan VL, atau bahkan berbeda? Kalau pun berbeda VL tidak akan menanyakan apa alasannya. Ha-ha...

VL, sejarah inisal ini sebenarnya dimulai dari kata 'minum dan suka'. Mengapa demikian? Bila kita panjangkan, VL ini memiliki singkatan dari; Vanilla Latte. Yah betul, apa yang ada dalam benak reader tepat sekali. VL pernah minum vanilla latte, dan akhirnya VL pun menyukainya. Cukup untuk dua kata kunci itu. Selanjutnya VL akan mengupas sisi lain dari vanilla late, mulai dari sisi filosofis, ilmu dan praktik. Mari kita mulai dengan sisi folosofis. Dan masih tetap, jangan tanya kenapa sisi filosofis dituliskan di nomor utama. Ha-ha...

~Sisi Filosofis
Dasar, dasar. Apa? Ya, semua ini tentang dasar yang mendasar. Oleh karena itu kita membicarakan filosofis. Dasar yang mendalam. Dasar pemikiran yang mendalam. Dan masih banyak lagi pengertiannya. Latte, merupakan jenis minuman yang berasal dari Italia, di kota Venice tepatnya. Latte, yang berarti kopi susu, dengan perbandingan susu dan kopi adalah 3:1. Sedangkan vanilla, adalah aroma rasa yang harum. Singkatnya, kopi susu vanila. Benar-benar nikmat. Begitupun, ketika fiksi dan fakta dicampur dengan perbandingan 3:1, serta gaya penulisannyacakap searoma harum vanilla, maka tersajilah sebuah tulisan dengan kesan, rasa dan warna tersendiri. VL putuskan, ini menjadi nama pena.

~Sisi Ilmu
Yah, Ilmu! Mari kita kesampingkan sifat formal dari makna kata ini. VL pernah dikritik atas hasil tulisan yang sama sekali buruk. VL tahu, sesuatu harus dilakukan untuk membuat semuanya lebih baik. Letaknya dibagian unsur fiksi. Yah! Akhirnya reader menyadarinya. Kalian sangat pandai! Terima kasih! Memang benar sekali, seperti halnya Lino Meiorin, penemu latte asal Italia, melakukan hal yang sama. Saat itu, Lino mendapati pelanggannya yang tidak biasa dengan komposisi kopi susu di kafenya. Pelanggan tersebut meminta tambahan kadar susu menjadi sepertiganya, kepada Lino. Akhirnya, mulai dari saat itu Lino memutuskan untuk menjual latte, dengan perbandingan susu dan kopi, 3:1.

~Sisi Praktik
Ssst! Kalian memang reader yang pandai! Sekali lagi, kalian reader yang brilian! Yah, benar sekali! Sisi praktik tidak perlu diulas, karena sisi ini hanya bisa dinilai dari bagaimana VL menyuguhkan tulisan-tulisan.
Terima kasih untuk apresiasinya, my reader!

Sapa-Tegur-Wilujeng-Sumping

As salamu'alaikum Wr. Wb.

Hai-hai,

Sebenarnya fenomena blogging merupakan hal yang biasa. Diperkenalkan sekitar beberapa dekade yang lalu. Penulis pun sempat memiliki beberapa blog sebelumnya. Hanya karna faktor inkonsistensi, blog-blog tersebut vaccum. Kegiatan lainnya yang cukup menguras waktu adalah salah satu yang bisa disebut alibi yang logis.

Ha-ha... Tapi sudahlah, seakan penulis ingin memulai semuanya dengan hal baru. Kalau boleh jujur, sebutan 'penulis' terdengar lebih formal, dan tidak cukup friendly. Alternatifnya, penulis akan menggunakan inisial 'VL'. VL terdengar lebih simpel dan mewaliki gambaran diri penulis. Ups... malah disebut lagi. Ayolah hentikan leluconya, VL. Ha-ha... Baiklah, VL. Ya, tulisan ini akan mengawali kemunculan insial VL di tulisan-tulisan selanjutnya. :)